Sepenggal Kisah Perjalanan Kami

Wednesday, February 27, 2008

Cerpenku

Beberapa waktu yg lalu aku sempat nulis cerpen di salah satu koran harian. Tapi sayang sampe detik ini belum tau nasib keberadaan cerpen ku itu. Daripada ilang, mending file nya tak simpen di Blog aja.

CHERY
Oleh: Rahmati Maula

Kicau burung terdengar sangat merdu bagaikan simphoni orkestra yang mengalun mengiringi terbitnya mentari di pagi hari, betapa indahnya ciptaanMu ya Tuhan. Sungguh sebagai manusia sudah sepatutnyalah kita mensyukuri, menjaga dan melestarikan ciptaanNya.

Kupandangi tubuh mungil yang sedang terlelap itu, kubelai rambutnya, ku elus pipinya dan ku genggam jari-jari tangan mungilnya. Ya Tuhan betapa besar karunia yang Engkau berikan kepadaku, sanggupkah aku menjaganya? Mampukah aku merawatnya hingga akhir sisa hidupnya?


Sudah dua bulan anakku terbaring lemah tak berdaya, dokter telah memvonis hidupnya tinggal tiga bulan. Awalnya dia hanya menderita penyakit yang umum menimpa balita seusianya, “radang tenggorokan”, akan tetapi karena kita terlalu menyepelekan dan terlambat memeriksakan ke dokter, penyakit tersebut telah menjalar ke otak, menjadi “radang selaput otak”.

“Chery…,” terdengar suara suamiku memanggil anak semata wayangnya yang seketika membuyarkan lamunanku. “Sshh…tt dia sedang tidur yah,” Jawabku. “Oohh, baiklah akan aku bacakan nanti kalau dia sudah bangun. Tadi sepulang dari kantor aku membeli buku cerita anak terbaru.” Sejak usia dua tahun Chery memang senang mendengarkan cerita maupun dongeng anak. Kini di usianya yang ke empat dan dalam keadaan terbaring lemah, dia masih meyukai saat saat kami membacakan cerita untuknya.

“Ayah, maukah membacakan buku ini untukku?” pinta Chery di suatu sore yang cerah. “Tentu sayang.” Maski sudah membacakan buku tersebut hingga kedelapan kali, suamiku tetap sabar dan tenang membacakan buku favorit Chery tersebut. Suamiku memang orang yang paling sabar dan tabah di antara orang-orang yang kukenal. Dialah yang menenangkan dan menghiburku ketika kami mendengarkan vonis dokter tentang umur Chery. Suamiku juga yang selalu menyakinkan diriku bahwa semua yang terjadi di muka bumi ini adalah kehendak Yang Maha Kuasa. Sungguh sangat beruntung, Tuhan telah memberikan suami seperti dirinya untukku.

Tiga bulan telah berlalu, itu adalah rentang waktu yang di berikan dokter untuk kami agar memanfaatkan waktu tersebut untuk selalu dekat dengan anak kesayangan kami. Kenyataanya kami manfaatkan waktu itu dengan sebaik-baiknya, mulai dari memberikan hal-hal yang paling disukai Chery sampai melarang sesuatu yang membahayakan dirinya. Akupun juga banyak mencari informasi tentang penyakit yang diderita Chery mulai dari majalah, koran hingga internet. Semua perubahan yang terjadi pada Chery baik yang berupa peningkatan maupun kemunduran kesehatannya aku konsultasikan kepada dokter.

Puji syukur kepada Tuhan, kesabaran dan ketelatenan kami dalam merawat Chery telah membuahkan hasil. Lima bulan berlalu, Chery masih bisa menatap terbitnya mentari di pagi hari melalui jendela kamarnya. Ia juga masih bisa mendengarkan buku-buku cerita yang kami bacakan untuknya. Kekhawatiran kami sedikit berkurang.

“Bunda, Tuhan sayang Chery ndak?”
“Tentu sayang.”
“Klo sayang mengapa Chery harus minum obat tiap hari? Obat itu kan pahit. Chery bosan minum obat.”
“Chery anakku, Tuhan itu Maha Penyayang, semua makhluk seperti hewan, tumbuhan tak terkecuali manusia pasti di sayang Tuhan. Kalaupun Chery harus minum obat, itu demi kebaikan Chery. Chery kan sedang sakit, kalau ingin sembuh ya harus minum obat.”
“Tiap hari minum obat tapi kok belum sembuh juga?”
“Sehat, sakit, kaya, miskin Tuhan yang mengatur. Kita sebagai manusia harus berusaha jika menginginkan sesuatu, kalo ingin kaya ya harus bekerja, kalo ingin sehat atau sembuh dari sakit ya harus minum obat. Tapi jangan lupa, semua itu harus disertai dengan Doa. Kita berdoa kepada Tuhan agar di beri yang terbaik untuk kita.”
“Kalau begitu Chery akan berdoa agar Chery cepat sembuh. Kalau sudah sembuh Chery boleh berhenti minum obat.”

Sanak saudara dan juga tetangga telah berkumpul, sedu sedan tangis mereka bercampur dengan lantunan surat Yasin, sementara jenazah Chery sudah terbungkus kain kafan. Akupun tak kuasa menahan isak tangis. Tuhan, Engkau telah memberikan yang terbaik untuk Chery.


Pernikahan Gabriel dan Fifit
Oleh: Rahmati Maula

Kesunyian mulai menghampiri rumah keluarga Afandi di Jl. Panglima Sudirman, Malang. Para undangan, sanak saudara serta handai taulan telah meninggalkan rumah tersebut dan menuju rumah masing-masing. Mereka menjadi saksi atas janji setia dua insan yang telah melaksanakan akad nikah dan pesta perkawinan hari ini. Dari sinilah kehidupan Gabriel dan Fifit dimulai, mereka akan segera menjalankan bahtera perkawinan, riak gelombang pasang surut kehidupan akan mereka hadapi bersama.

Sebagai pasangan pengantin baru mereka tampak bahagia. Rona merah terpancar dari wajah Fifit ketika Gabriel memandang dan mulai mengecup keningnya, meskipun kelihatan canggung bagi Fifit. Mereka berbincang-bincang sebentar kemudian melakukan layaknya pasangan pengantin baru di tengah keheningan malam. Malam pertama, malam yang akan terkenang sampai ajal menjemput.

“Sarapan sudah siap Mas,” kata Fifit. “Oke, aku akan menyusul,” jawab Gabriel. Mereka sekeluarga segera berkumpul di meja makan untuk sarapan. Sebagai anak tunggal, Fifit tidak biasa berpangku tangan tanpa mengerjakan sesuatu. Pekerjaan rumah apapun dengan senang hati ia kerjakan. Begitu juga dengan Gabriel, sebagai dosen lulusan Boston University ia mempunyai disiplin tinggi, rajin dan cerdas. Tak heran jika banyak mahasiswa maupun mahasiswi yang mengidolakan dirinya.

“Kapan engkau kembali ke Lombok?” Haji Afandi, ayah Fifit bertanya kepada Gabriel.
“Insya Allah hari Sabtu depan Pa,” jawab Gabriel. “Karena hari Senin kuliah sudah masuk,” lanjutnya.
“Dan kau Fifit, kapan kuliahmu mulai aktif ?”
“Hari Senin Pa. Aku balik ke Surabaya hari Sabtu, sekalian mengantar mas Gaby ke Juanda,” jawab Fifit.
Meskipun sudah menikah, Gabriel dan Fifit memutuskan untuk tinggal terpisah sementara. Gabriel tinggal Mataram, NTB, sedangkan Fifit di Surabaya.
“Sampai kapan kalian akan hidup terpisah? Apakah kalian sudah mempertimbangkannya?” Ny Rika, ibu Fifit ikut berbicara.
“Sampai kuliahku selesai Ma, sekarang aku sudah semester V, kalau lancar, Insya Allah kurang satu setengah tahun aku lulus. Doakan semua lancar ya Pa, Ma!” jawab Fifit.
“Kita orang tua, selalu mengharapkan yang terbaik untuk kalian,” lanjut ibu Fifit.
“Doakan juga kita berdua bisa tabah, sabar dan ikhlas dalam menjalani kehidupan rumah tangga ini!” tambah Gabriel.
“Tentu nak mantu,” tambah ibu Fifit.

*****

Sebulan telah berlalu sejak Gabriel dan Fifit berpisah, semua nampak lancar. Gabriel menjalani kesibukan sebagai dosen di salah satu Perguruan Tinggi Negri yang ada di Mataram, sementara Fifit mulai disibukkan dengan berbagai tugas-tugas kuliahnya. Komunikasi tetap mereka usahakan setiap hari, baik lewat telepun atau lewat sms.
“Dek, apa kamu tidak ingin ke Mataram? Selama ini kamu kan belum pernah melihat indahnya Pulau Lombok?” tanya Gabriel lewat telepun.
“Kepingin sih, tapi tidak bisa dalam dalam waktu dekat ini, dua minggu lagi aku ada UTS,” jawab Fifit.
“Ooh… sampai kapan?”
“Cuma seminggu kok, tapi setelah itu tetep masuk, tidak ada libur.”
“Bisa kan sekali-kali tidak masuk?”
“Iya, tapi aku takut ketinggalan. Mas Gaby tau kan aku paling males mbolos kecuali sakit.”
“Oke deh. Kalau tidak bisa ya tidak apa-apa. Nanti kalau kamu ke sini tak ajak keliling Pulau Lombok, disini banyak tempat wisata. Eh pantai disini bagus banget lho, banyak bule lagi. Kamu kan demen banget sama bule.”
“Hehehe...ya, nanti mas Gaby harus bisa membuatku betah tinggal di Mataram! Sudah dulu ya mas, aku mau nyuci baju dulu.”
“Oke deh. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”

Dua hari kemudian, di suatu pagi yang cerah Fifit membaca SMS dari Gabriel yang berbunyi,
"Dek, cepat kesini! Kalau tidak, aku tidak tau apa masih bisa mempertahankan pernikahan kita."
Setelah membaca SMS tersebut, Fifit jadi bingung dan cemas. Padahal dia merasa semua lancar, tidak ada masalah. Dia langsung menelepun Gabriel, namun Gabriel membiarkan saja Hp mungilnya berdering. Kemudian Fifit kirim SMS balasan,
"Ada apa sih mas, kok tiba-tiba SMS dengan kata-kata serem gitu ?"
Tetapi sms tersebut tidak kunjung mendapat balasan dari Gabriel. Fifit semakin cemas, akan tetapi sudah menjadi sifat Fifit untuk tidak menceritakan hal itu kepada siapapun termasuk mama dan sahabat karibnya yang biasa menjadi tempat curhat sebelum dia mengetahui permasalahannya.

Hingga malam harinya Gabriel menelepun. "Aku kepingin kita tinggal bersama saja dek! Aku tidak bisa hidup kayak gini," terdengar suara Gabriel dari seberang telepun.
"Lho kita kan sudah sepakat, aku selesaikan kuliahku dulu, baru ikut mas Gaby."
"Sepertinya aku tidak bisa dek, aku tidak mampu hidup terpisah jauh dari kamu, aku disini butuh pendamping. Kamu selesaikan kuliahmu disini saja, Please!"
"Aku tahu. Mas Gaby kesepian, tinggal sendiri di rumah, dan pasti ingin kita hidup layaknya suami istri lain yang bisa selalu bersama. Aku pun begitu, tetapi melihat kondisi kita, untuk sementara tidak bisa," kata Fifit.
"Kenapa tidak? Disini juga ada jurusan yang sama dengan yang kau ambil, meskipun tidak di Universitas Negri. Rumah juga sudah ada, tinggal menempati, kurang apalagi?" tanya Gabriel.
"Bukan itu masalahnya, sudah menjadi keinginanku sebelum kita memutuskan untuk menikah bahwa aku tetep menyelesaikan kuliah di Surabaya baru kemudian ikut mas Gaby. Nanti kalau sudah selesai kan enak, aku bisa ikut mas Gaby tanpa ada tanggungan," ujar Fifit memberi alasan.
"Tapi itu masih lama sekali, aku sangat rindu padamu saat ini, aku ingin bertemu denganmu," kata Gabriel.
"Ya sudah, besok aku ke Mataram, bolos kuliah gak apa-apa deh," kata Fifit memberi tanggapan.
Keesokan harinya, Fifit berangkat ke Mataram naik pesawat. Dia membeli tiket pesawat tersebut dengan menggunakan uang beasiswa yang dia peroleh karena IP-nya selalu meraih predikat cumlaude. Gabriel tidak mengetahui bahwa Fifit memperoleh beasiswa, dia sengaja merahasiakannya. Fifit belum pernah menggunakan uang itu, ia berencana menggunakannya untuk keperluan mendadak seperti saat ini.

Setelah tiba di Mataram, Fifit segera menanyakan persoalan yang tengah berkecamuk di dalam pikiran suaminya.
"Sebenarnya tidak ada apa-apa dek, aku cuma kangen sama kamu dan aku tidak bisa jauh dari kamu, bagaimanapun juga suami istri harus selalu bersama baik dalam keadaan susah maupun senang," jawab Gabriel.
"Ya, aku tahu. Dalam berumah tangga, baik suami ataupun istri mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi, baik secara materi dan non materi. Untuk masalah materi mas Gaby tidak usah khawatir! Aku memperoleh beasiswa karena IP-ku termasuk dalam urutan terbaik sefakultas."
"Benar dek? Mengapa kamu tidak pernah bilang?" tanya Gabriel.
"Aku sengaja merahasiakannya, aku belum pernah menggunakan uang itu kecuali untuk membeli tiket pesawat ke Mataram kemarin. Rencanaku uang itu akan aku tabung agar nanti bisa digunakan jika ada keperluan mendadak."
"Alhamdulillah… tapi aku berpikir jika tinggal serumah kita bisa sedikit lebih banyak menyisihkan uang, pengeluaran bisa sedikit ditekan, dan aku bisa ketemu kamu tiap hari."
"Mas benar, seorang istri harus nurut kepada suami, jika suami menginginkan sesuatu haruslah dilaksanakan oleh istri. Tapi dalam hal ini akan lebih bijaksana jika mas Gaby sedikit bersabar, ikhlas mengizinkanku meneruskan kuliah di Surabaya. Jika mas Gaby kangen, aku akan mengalah, biar aku yang ke Mataram. Aku tidak minta jatah tambahan dari mas Gaby, uang beasiswa itu aja yang digunakan untuk biaya transportasi. Pesawat tiap hari juga ada," jelas Fifit panjang lebar.
"Oke deh. Aku kira untuk saat ini beres. Aku senang kamu bisa mencarikan solusi dek."
"Semua kalau dibicarakan seperti ini kan enak to mas, gak akan ada salah paham."
"Iya benar. Aku bangga padamu."

Fifit tinggal di Mataram selama seminggu, selama itu pula Gabriel berusaha membuat Fifit betah. Salah satunya yaitu mengajak Fifit pergi ke pantai yang selalu ramai dikunjungi wisatawan mancanegara.

*****

Seminggu setelah Fifit kembali ke Surabaya, Gabriel mendengar kabar bahwa salah satu teman kuliahnya akan mengadakan penelitian di Mataram. Tentu ia senang, ia bisa menyambung tali silaturrahim sambil bernostalgia. Tetapi Gabriel belum tau pasti siapa nama temannya itu.
“Halo, ini Gabriel?” terdengar suara cewek dari Hp Gabriel.
“Ya saya sendiri, siapa ini?” ujar Gabriel.
“Ini aku, Nike. Aku akan mengadakan penelitian di Mataram selama satu bulan. Kamu sudah tau kan?” tanya Nike.
“Oh iya, jadi kamu yang akan ke Mataram, gimana? Kapan berangkat ke sini dan mulai penelitian?” sahut Gabriel.
“Besok aku berangkat, bisa jemput aku di bandara?”
“Oke. Jam berapa?”
“Jam tiga sore, aku bawa barang banyak nih untuk keperluan penelitian.”
“Ya baiklah.”
Setelah menutup telepun itu, Gabriel merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ia teringat kenangan manis sewaktu masih menempuh S1, kenangan tak akan terlupakan sewaktu berpacaran dengan Nike. Mereka berpacaran selama tiga tahun, tapi orang tua Nike tidak merestui sehingga hubungan itu tidak berlanjut sampai ke pelaminan. Bagaimanakah Nike sekarang? Apa dia sudah menjalin kasih dengan seseorang seperti dirinya saat ini? Dengan siapa? Tanya Gabriel dalam hati.

Keesokan harinya setelah pulang dari kampus, Gabriel langsung menuju Bandara. Padahal jam masih menunjukkan pukul 14.00 Wita. Ia tidak ingin membuat Nike menunggu, jadi ia datang lebih awal.
“Bagaimana kabarmu?” Gabriel memulai percakapan.
“Aku baik, kamu?” tanya Nike.
“Yap, seperti yang kamu liat sekarang. Ehmm… sekarang kamu sama siapa?” tanya Gabriel ragu.
“Aku belum ada tuh.”
“Hah?!! Yang bener? Kalo aku sudah nikah, tapi sekarang istriku di Surabaya.”
“Kok pisah?”
“Dia masih nerusin kuliahnya, biar selesai dululah, sori gak kasih kabar kamu.”
“Gak papa. Nomorku ganti, terus orang tua juga tetep alot kayak gitu, gak ngebolehin cowok deket sama putrinya, jadinya ya seperti sekarang. Perawan tua he..he..he.
“Gak lah. Jadi gimana penelitianmu? Tentang apa?”
“Tentang kasus kematian ibu setelah melahirkan. Aku dengar tiap tahun kematian ibu setelah melahirkan semakin bertambah di Mataram.”
“Ya memang. Wah topik menarik tuh. Jadi selama penelitian, kamu bisa tinggal di rumahku.”
“Oke, thanks.”

Dua minggu berlalu, Gabriel merasa cinta diantara dirinya dan Nike bersemi kembali. Banyak faktor yang mendukung hal itu. Sebagai seorang laki-laki normal, wajar jika ia tertarik dengan lawan jenis walaupun dia sudah beristri. Ditambah pula dengan kehidupan rumah tangganya yang mengharuskan suami istri tersebut belum bisa tinggal serumah. Tapi selama ini ia masih bisa mengendalikan diri.

Hingga suatu hari terjadi hal yang diluar kendali dan sudah pasti dilarang agama. Gabriel dan Nike tidur dalam satu kamar. Peristiwa itu terjadi tanpa sepengetahuan siapapun, hanya mereka berdua. Fifit pun tidak tahu kalau di rumahnya ada seorang perempuan yang menemani suaminya, karena Gabriel tidak pernah bercerita tentang Nike.

Suatu ketika Fifit pergi ke Mataram, ia sengaja tidak memberi tahu Gabriel akan kedatangannya. Setibanya di rumah, Fifit kaget sekaligus heran karena ada sandal perempuan di depan rumah. Segera ia masuk ke dalam rumah yang kebetulan tidak di kunci. Fifit melihat Gabriel dan Nike tengah asyik bersenda gurau sambil berpegangan tangan. Ketika Gabriel mengetahui kedatangan Fifit, ia jadi salah tingkah.
“Mas Gaby, siapa dia? Mengapa ada di sini?” tanya Fifit sambil berkaca-kaca.
“Oh…eh anu, ehmm… dia teman kuliahku dulu. Untuk sementara dia tinggal disini karena sedang mengadakan penelitian.” jawab Gabriel.
“Mengapa kalian hanya berdua-duan? Di dalam kamar lagi? Apa dia juga pacarmu?” lanjut Fifit.
“Iya dulu kami berpacaran,” jawab Nike.
“Sekarang?” Fifit terlihat semakin emosi.
Gabriel dan Nike saling berpandangan. “Semua salahku dek, aku tidak bisa mengendalikan diri. Maafkan aku,” Gabriel berkata dengan penuh penyesalan.
“Terus sekarang maunya mas Gaby gimana?? Apa masih mau terus dengan aku atau milih dia?” tanya Fifit.
Hening, tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Gabriel.
“Apapun pilihan mas Gaby akan aku hargai. Tapi kelihatannya aku yang harus pergi. Baiklah, kita sudah sama-sama dewasa mampu memilih yang terbaik untuk dirinya, segeralah urus perceraian kita!! Assalamu’alaikum.” Fifit pergi meninggalkan rumah dengan berlinangan air mata.
“Fifit tunggu!” teriak Gabriel sambil mengejarnya. Tapi Fifit tidak menggubris dan terus berlari.

*****

Dua bulan telah berlalu, Gabriel belum juga mengurus perceraiannya dengan Fifit. Tetapi Fifit tidak ambil pusing, ia ingin konsentrasi dengan Ujian Akhir Semester yang semakin dekat, dan tugas-tugas yang menumpuk. Segala yang ia keluh kesahkan hanya dirinya dan Allah yang mengetahui. Fifit hanya bisa mengadu dan memohon kepada Sang Pencipta agar ditunjukkan jalan yang terbaik untuk dirinya.

Karena Fifit terlalu sibuk dengan aktifitasnya, tanpa ia sadari ia sudah terlambat menstruasi. Dia juga sering mual di pagi hari. “Wah jangan-jangan aku hamil,” pikir Fifit. Setelah periksa ke dokter, Fifit positif hamil tiga bulan. Dia bingung, bagaimana nasib anaknya nanti, kuliah juga belum selesai, siapa yang merawat bayinya nanti.

Sungguh kasihan Fifit, karena terlalu banyak beban pikiran, berat badannya semakin menurun, padahal dia tengah mengandung. Kedua orang tuanya tidak mengetahui masalah yang sedang dihadapinya. Jika ditanya, Fifit selalu menjawab semua baik-baik saja.

*****
Setelah Nike menyelesaikan penelitiannya, ia kembali ke Bandung. Gabriel sendiri lagi dalam rumahnya. Di tengah kesendiriaanya, dia berpikir-pikir seriuskah hubungannya dengan Nike atau cuma keingingan sesaat. Lebih cinta Nike ataukah Fifit???
Dalam kebimbangannya, tiba-tiba tanpa sadar tangannya memencet nomor Hp Fifit.
“Halo, assalamu’alaikum,” terdengar suara Fifit. Fifit tidak tahu kalau itu adalah nomor Hp Gabriel, karena nomor itu sudah dia hapus dari phonebook.
“Wa…wa’alaikumussalam.” jawab Gabriel.
“Ya, dengan siapa ini?”
“Ini aku Gaby dek.”
“Oh mas Gaby, ada apa? Sudah urus perceraian kita?” Fifit berusaha berkata dengan nada suara yang wajar, meskipun terdengar sedikit bergetar.
“Maaf dek, aku belum mengurusnya. Karena…karena …”
“Karena apa?”
“Karena aku tidak bisa, aku tidak bisa menceraikanmu. Aku masih mencintai dan menyayangimu.”
“La terus pacarmu itu?”
“Dia pulang untuk menyelesaikan studynya di Bandung. Selama sebulan terakhir ini aku telah berpikir, ternyata aku lebih mengharapkanmu daripada siapapun di dunia ini. Aku mengaku salah dan berjanji akan memperbaiki kesalahanku.”
“Beri aku waktu untuk berpikir!”
“Baiklah, terimakasih sudah memberiku kesempatan berbicara hari ini, Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”

*****

4 comments:

  1. good teruskan karyanya ya mbak

    ReplyDelete
  2. mB....
    jd tErhaRu.......

    ReplyDelete
  3. kurang panjang la, bagusnya diterusin jadi novel tuh.. ( cerita yang ke 2)..mungkin malah bisa di Bukukan dan dicari penerbit yang mau menerbitkan.
    semoga semangat. Eh aku baru baca cerita Jija sakit, semoga segera pulih ya , memang musim dingin ya gitu deh ..cuaca juga berubah rubah.. banyak vitamin ya..biar daya tahan tubuh kuat.

    ReplyDelete

Sopan dan Santun dalam berkomentar, disukai banyak teman...
Terima Kasih ^_^

© The Journey